Demokrasi dan HAM
Sejarah perkembangan
demokrasi dimulai dari zaman Yunani Romawi kuno (500 SM – 476 M), kemudian
zaman abad pertengahan dari (476 M - 1500 M) dan zaman modern (1500 M –
sekarang) dimana tiap masa memiliki rumusan demokrasi yang kontekstual, sesuai
situasi kondisi yang ada pada zamannya masing-masing. Pada zaman modern istilah
demokrasi dirumuskan oleh Abraham Lincoln, dimana konsep demokrasi didorong
oleh menyebarnya paham kebebasan di Amerika Serikat yang mempengaruhi Revolusi
Perancis dan dirumuskan sebagai Egalite (Persamaan), Fraternite (Persaudaraan)
dan Liberte (Kemerdekaan). Kemudian dari belahan dunia timur, Dr. Sun Yat Sen
mengenalkan istilah Demokrasi dengan istilah Min Chuan.
Perkembangan
demokrasi pada abad XIX lebih menekankan pada bidang hukum karena dominan
pengaruh hak-hak individu. Negara dan pemerintah tidak banyak turut campur
dalam urusan warganya, kecuali berkaitan dengan kepentingan umum. Pemerintah
yang baik adalah pemerintah yang sedikit memerintah. Negara seperti penjaga
malam. Konsep laisses faire laisses aller berpeluang mandiri, tetapi juga
berpeluang menuju penindasan atas sesama. Wajah baru demokrasi abad XX berangkat dari pengalaman abad XIX
tersebut. Negara dan pemerintah berperan luas. Penjaga malam tidak hanya
bertugas secara pasif tetapi berperan aktif dalam mengatur kehidupan dan
bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat.
Adapun karakteristik
demokrasi universal, antara lain : (1) kehidupan masyarakat dimana
warganegaranya berperan serta dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih;
(2) pemerintahan yang menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat,
berserikat, menegakkan ; (3) pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak
kelompok minoritas; (4) masyarakat yang saling memberi perlakuan yang sama
kepada seluruh warganegaranya. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa fokus
wacana demokrasi adalah rakyat. Oleh Pabottinggi (2002), menegaskan bahwa demokrasi
sebagai sistem pemerintahan yang berparadigma otocentricity dan demokrasi
sebagai pelembagaan dari kebebasan. Artinya, rakyat yang menjadi kriteria dasar
demokrasi.
Praktik demokrasi di
Indonesia sebenarnya sudah lama dilaksanakan. Praktik musyawarah mufakat
merupakan bagian integral dari demokrasi. Sejak kemerdekaan Indonesia 1945
sampai tahun 1959 Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer dalam
pemerintahan, kemudian melaksanakan demokrasi terpimpin dalam kurun waktu 19591965, dan
sejak runtuhnya rezim orde lama digantikan dengan orde baru melaksanakan
demokrasi Pancasila sampai sekarang. Gejala dalam demokrasi parlementer
pemerintahan tidak stabil karena kuatnya peranan partai politik dan pembangunan
terhambat. Dalam demokrasi terpimpin kuatnya peranan presiden sebagai pusat
kekuasaan dan melemahnya kekuatan partai politik. Begitu pula dalam demokrasi
Pancasila di zaman orde baru dominasi eksekutif masih tetap kuat ,parlemen
seolah olah merupakan subordinasi dari eksekutif. Perbaikan terus dilakukan
sejalan dengan pergantian orde baru dengan orde reformasi. UU Dasar
diamandemen, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih langsung
oleh rakyat, begitu juga presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Adapun CICED (1998)
sebagai Center for Indonesia Civic Education, menjabarkan demokrasi sebagai
dimensi yang multidimensional, yaitu (a) secara filosofis, demokrasi sebagai
ide, norma, dan prinsip; (b) secara sosiologis sebagai sistem sosial, dan (c)
secara psikologis sebagai wawasan prilaku individu dalam bermasyarakat. Sebab,
CICED merumuskan demokrasi sebagai kerangka berpikir dalam melakukan pengaturan
urusan umum atas dasar prinsip : dari, oleh dan untuk rakyat, yang diterima
sebagai ide, norma, dan sistem sosial maupun sebagai wawasan, prilaku dan sikap
individul yang secara kontekstual diwujudkan, dikembangkan dan dipelihara.
Pilar universal
demokrasi sebagai suatu sistem sosial kenegaraan terdiri dari 11 pilar
(USIS:1995). Antara lain, (1) kedaulatan rakyat; (2) pemerintahan berdasarkan
persetujuan dari yang diperintah; (3) kekuasaan mayoritas; (4) hak-hak
minoritas; (5) jaminan hak-hak asasi manusia; (6) pemilihan yang bebas dan
jujur; (7) persamaan di depan hukum; (8) proses hukum yang wajar; (9)
pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (10) pluralisme sosial, ekonomi,
politik dan nilai-nilai toleransi, pragmatisme; (11) kerjasama dan mufakat.
Sedangkan menurut Sanusi (1998;4-12), demokrasi konstitusional menurut UUD’45
memiliki 10 pilar, yaitu (1) demokrasi yang berKetuhanan YME; (2) demokrasi
dengan kecerdasan; (3) demokrasi dengan rule of law; (4) demokrasi dengan
pembagian kekuasaaan; (5) demokrasi hak asasi manusia; (6) demokrasipengadilan
yang merdeka; (7) demokrasi dengan otonomi daerah; (8) demokrasidengan
kemakmuran; (9) demokrasi yang berkeadilan sosial.
Sehingga yang
membedakan pilar demokrasi universal dengan demokrasi Indonesia adalah pilar
demokrasi yang berKetuhanan YME. Ciri demokrasi Indonesia yang khas tersebut,
menurut Elposito dan Voll telah dinyatakan oleh Maududi dan kaum muslim sebagai
teodemokrasi, yang berarti demikrasi Indonesia bernuansa KeTuhanan YME,
sedangkan demokrasi universal bernuansa sekuler. Demokrasi dapat juga dikaji
dari 3 tradisi pemikiran politik. Menurut Torres, 3 tradisi pemikiran politik itu,
antara lain : (a) Classical Aristotelian Theory; (b) Medieval Theory; (3)
Contemporaray Doctrine. Berdasarkan Classical Aristotelian Theory, demokrasi
diartikan sebagai pemerintahan seluruh warganegara yang memenuhi syarat
kewarganegaraan. Adapun Medieval Theory menekankan penerapan Roman Law dan
popular sovereignity, sehingga demokrasi diartikan sebagai suatu landasan
kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Lain lagi dengan Contemporary Doctrine
yang menekankan konsep Republican maka demokrasi disini diartikan sebagai
bentuk pemerintahan yang murni.
Lebih jelas lagi,
Torres memandang demokrasi dari 2 aspek, yakni sebagai formal democracy dan
substantive democracy. Dari aspek formal democracy yang dilihat adalah
demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan. Kemudian dari aspek substantive
democracy yang dilihat adalah proses demokrasi, yang diklasifikasikan dalam
empat bentuk demokrasi. Antara lain : (1) protective democracy menitik beratkan
kepada kekuasaan ekonomi pasar, sehingga proses pemilu dilakukan reguler untuk
memajukan kegiatan pasar dan melindunginya dari tirani negara; (2)
developmental democracy memandang manusia sebagai makhluk yang dapat
mengembangkan kemampuan dan kekuasaan dirinya, serta menempatkan partisipasi
demokratis sebagai jalur utama bagi pengembangan diri; (3) equilibrium
democracy atau pluralist democracy menekankan penyeimbangan nilai partisipasi
daan pentingnya apatisme, sebab apatisme di kalangan mayoritas warganegara
menjadi fungsional bagi demokrasi. Partisipasi yang intensif dipandang tidak
efisien bagi individu yang rasional ; (4) participatory democracy menekankan
bahwa perubahan sosial dan partisipasi demokratis perlu dikembangkan secara
bersamaan karena satu sama lain saling memiliki ketergantungan.
Oleh sebab itu perlu
diadakan pendidikan tentang demokrasi dengan wahananya yaitu pendidikan
kewarganegaraan, sebab ethos demokrasi bukan suatu warisan tetapi sebagai suatu
konsep yang harus dipelajari dan dialami atau diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Sebenarnya proses demokrasi tidak hanya merupakan suatu proses
yang berkembang pesat di negara-negara barat yang mayoritas penduduknya
beragama kristen seperti yang telah dipersepsikan oleh Huntington (1991).
Tetapi sesungguhnya proses demokratisasi melanda hampir seluruh negara di dunia
termasuk di negara-negara muslim seperti yang dikemukakan oleh Esposito dan
Voll (1996) dengan studi komparatif demokrasi di Iran, Sudan, Pakistan,
Malaysia, Aljazair dan Mesir. Menurut Esposito dan Voll (1996 : 11) kebangkitan
Islam dan demokratisasi di dunia muslim berlangsung dalam kontek global dinamis
dan kedua proses tersebut saling mengisi. Demokratisasi di dunia muslim
menekankan (1) hanya satu kedaulatan yakni Tuhan, (2) khilafah sebagai bentuk
kepemimpinan politik masyarakat, (3) syura sebagai tradisi musyawarah, (4)
ij’ma sebagai bentuk persetujuan dan (5) ijtihad sebagai bentuk penafsiran
mandiri. Sehingga proses demokrasi tidak selalu dapat diukur dari kriteria
demokrasi barat tetapi dilihat secara kontektual menurut perkembangan situasi
sosial kultural setempat.
Menurut Deutsh dan
Lipset (1950s dalam Denny, 1999 : 1-2) faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan demokrasi adalah tingkat perkembangan ekonomi suatu negara ;
terbukanya media massa urbanisasi, pendidikan dan persatuan kesatuan
bangsa-bangsa ; serta pengalaman sejarah dan budaya kewarganegaraan. Ketiga
faktor tersebut menjadi parameter perkembangan demokrasi suatu negara, hal ini
dikemukakan oleh Bahmuller (1996 : 222 – 223). Konsep masyarakat madani di
Indonesia yang diterjemahkan dari istilah Civil Society berhubungan erat dengan
proses demokratisasi sehubungan dengan perluasan fungsi dan optimalisasi peran
aktif dari warga negara secara cerdas dan baik untuk membangun masyarakat yang
benar-benar demokratis sesuai konteks negaranya. Menurut Hikam, ciri utama
masyarakat madani adalah kesukarelaan, keswasembadaan, kemandirian tinggi
terhadap negara, keterkaitan terhadap nilai-nilai hukum yang disepakati
bersama. Secara kualitatif masyarakat madani Indonesia ditandai oleh (a)
ketaqwaan kepada Tuhan YME, (b) adanya jaminan hak azasi manusia, (c) adanya
partisipasi luas warga negara dalam pengambilan keputusan publik dalam berbagai
tingkatan, (d) adanya penegakan rule of law dan (e) adanya pelaksanaan
pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan demokrasi dapat dilakukan dalam
pendidikan formal, informal dan non formal, sesuai visi pendidikan demokrasi
yaitu learning democracy, through democracy, and for democracy atau secara
jelas dijabarkan sebagai wahana substantif, pedagogis dan sosio kultural untuk
membangun cita-cita, nilai, konsep, prinsip, sikap dan ketrampilan demokrasi
bagi warganegara melalui pengalaman hidup berdemokrasi. Misi pendidikan
demokrasi adalah : (1) memfasilitasi warganegara untuk mendapatkan berbagai akses
dan memakai secara cerdas berbagai sumber informasi; (2) memfasilitasi
warganegara melakukan kajian konseptual dan operasional secara cermat dan
bertanggungjawab terhadap berbagai cita-cita, instrumentasi dan praksis
demokrasi untuk mendapatkan keyakinan dalam pengambilan keputusan individual
ataupun kelompok. Praksis politik diartikan sebagai perwujudan konsep, prinsip
dan nilai demokrasi yang melibatkan individu dan masyarakat dengan keseluruhan
aspek lingkungannya; (3) memfasilitasi warganegara untuk memperoleh kesempatan
berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab dalam praksis kehidupan
demokrasi di lingkungannya. Untuk itu strategi dasar pendidikan demokrasi
adalah pemanfaatan multimedia dan sumber belajar, kajian interdisipliner,
pemecahan masalah sosial, penelitian sosial, aksi sosial, pembelajaran berbasis
portfolio, pembelajaran yang kukuh atau powerful learning (meaningful,
integrative, value-based, challenging and active). Model pendidikan demokrasi
berbasis portfolio versi Dewey diartikan sebagai model pembelajaran yang
menggunakan tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang
melukiskan proses berpikir yang didukung sejumlah data yang relevan, yang
melukiskan secara utuh pengalaman belajar demokrasi terpadu yang dialami siswa
dalam kelas sebagai suatu kesatuan. Di dalam model ini, ada simulasi public
hearing kemudian dilanjutkan kegiatan refleksi bagi individu dan keseluruhan
siswa untuk merenungkan dampak perjalanan panjang proses belajar demokrasi bagi
perkembangan pribadi siswa sebagai warganegara. Adapun untuk perguruan tinggi,
menurut Udin S. Winataputra ( 2002: 35) model pendidikan demokrasi dikembangkan
sesuai paradigma pendekatan perluasan lingkungan dan meningkatkan tingkat
kompetensi mahasiswa ke higher-order intellectual abilities.. Demikian
pengayaan tentang demokrasi.
Pada dewasa ini,
krisis kepemimpinan menjadi salah satu penyebab kemerosotan pembangunan dan
kehidupan sosial politik bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Sedemikian
besarnya krisis kepercayaan terhadap pemimpin, telah menyebabkan pergeseran
persepsi masyarakat tentang figur ideal pemimpin bangsanya, contohnya di
Amerika Serikat yang dulu sangat mengidolakan presiden dari kaum kulit putih,
kini mulai melirik dari ras kulit berwarna yang ditandai dengan majunya Obama
sebagai capres. Masyarakat sudah mulai bosan dengan dinamika politik yang
mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Demikian pula bagi
masyarakat dan bangsa Indonesia yang kini mulai melirik capres atau cabup,
cagub dari kalangan bukan elit politik yang dianggap rentan terhadap
penyalahgunaan wewenang dan ingkar janji. Lebih-lebih dengan banykanya kasus
KKN yang terkuak pada lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR, Kejaksaan
Agung, Departemen Kehakiman dan lainnya.
Tawuran
antarmahasiswa sebagai kaum intelektual muda Indonesia juga merefleksikan
kurangnya keteladanan figur pemimpin dalam keluarga, masyarakat, bangsa and
negara. Perhatikan berita di media massa yang memperlihatkan lemahnya control
sosial bahkan di kampus sekalipun, sehingga tawuran antarmahasiswa sering
terjadi yangn dibarengi dengan tindakan melanggar hukum dan mengganggu
ketertiban umum, contohnya adanya pemakian narkoba dari jenis ganja sampai
sabu, kepemilikan senjata tajam illegal baik dari senjata rakitan sampai yang
pabrikan. Sungguh ironis, terjadi dalam negara yang dulu merdeka karena luapan
motivasi untuk merdeka dalam diri rakyatnya yang didorong oleh semangat juang
pemuda sebagai trigger nilai juang yang pantang menyerah melakukan perubahan ke
arah kebaikan; sekarang dikotori oleh pikiran divide et impera akibat perbedaan
kelompok dan kepentingan. Padahal jika perbedaan kelompok dan kepentingan
dijadikan kekayaan mental, pemikiran dan kolaborasi kepentingan yang saling
menguatkan and melayani, kehidupan bermasyarakat, berbangsa and bernegara akan
berlangsung indah dan harmoni.
DAFTAR PUSTAKA
Budhisantosa, S.,
(2002) Pancasila dan Kebangsaan dalam Masyarakat Majemuk dengan Keanekaragaman
Kebudayaan. Yogyakarta : DIKTI (makalah).
Winataputra, Udin S.,
Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi. Yogyakarta: DIKTI.
Amin, Zainul I.
(2007)MKDU4111 Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: UT
0 komentar:
Posting Komentar