Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi
Istilah globalisasi
menunjukkan gejala menyatunya kehidupan manusia di planet bumi ini tanpa
mengenal batas-batas fisik-geografik dan sosial yang kita kenal sekarang ini.
Globalisasi berkembang melalui proses yang dipicu dan dipacu oleh kemajuan
pesat “revolusi” di bidang teknologi komunikasi atau informasi, transportasi
dan perdagangan yang dikenal dengan istilah Triple T.
Pemikiran Naisbitt
menyatakan menyatunya kehidupan di dunia (globalisasi) disertai dengan
munculnya berbagai paradoks (kondisi pertentangan). Dikhawatirkan “globalisasi”
akan menghilangkan negara bangsa (nation state)? Disisi lain globalisasi
haruslah dipandang sebagai suatu “peluang” (oportunity) untuk meningkatkan,
mengembangkan, dan memperkokoh bangsa, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain
yang telah maju. Untuk itulah, diperlukan Tannas yang tangguh bagi bangsa
Indonesia di Era Globalisasi.
Globalisasi merupakan
suatu pengertian ekonomi. Konsep globalisasi baru masuk kajian dalam
universitas pada tahun 1980-an, pertama-tama merupakan pengertian sosiologi
yang dicetuskan oleh Roland Robertson dari University of Pittsburgh.
Pada prinsipnya,
proses globalisasi ada yang bertujuan intensional dan ada pula yang impersonal.
Proses globalisasi yang intensional dapat dilihat misalnya pada kegiatan
perdagangan dan pemasaran, sedangkan proses globalisasi yang impersonal dapat
kita lihat, misalnya dalam gerakan fundamentalis, agama dan
kecenderungan-kecenderungan pasar yang agak sulit untuk dijelaskan
sebab-musababnya, misalnya mundurnya mobil buatan Amerika di pasaran dunia
dewasa ini.
Globalisasi
menyebabkan “bazar global” karena dunia
sebenarnya telah merupakan pasaran bersama dengan adanya alat-alat komunikasi
serta entertainment global melalui jaringan TV, internet, film, musik maupun
majalah-majalah maka dunia dewasa ini telah merupakan suatu pasar yang besar
(global cultural bazaar). Bahwa dunia telah menjadi satu pasar, dapat kita
lihat gejalanya di kota-kota besar di Indonesia, dengan menjamurnya mal-mal
yang dibanjiri produk luar negeri.
Dewasa ini kita juga
melihat bahwa suatu produk tidak lagi dihasilkan di satu negara, tetapi
komponen-komponennya telah dibuat di berbagai negara karena
pertimbangan-pertimbangan bisnis yang lebih menguntungkan. Produk Boeing,
Toyota, Mitsubisi, General motor merupakan contoh desentralisasi dalam
produksinya. Sementara itu, proses produksi juga berkembang menjadi produksi
massal (mass production) yang memungkinkan penekanan harga sehingga dapat
dijual lebih murah.
Pesatnya kemajuan
bisnis juga didorong oleh apa yang disebut uang global (global money) yakni
credit card. James Champy penulis terkenal Reengineering The Corporation,
menyatakan selera konsumen sangat menentukan dalam transformasi global.
Menurut Champy,
lingkungan yang mampu menghadapi tantangan masa depan adalah Pertama,
lingkungan yang merangsang pemikiran majemuk yang peka terhadap keinginan
konsumen. Kedua, untuk memenuhi selera pasar “konsumen”, diperlukan
manusia-manusia yang menguasai ilmu dan keterampilan tertentu serta menjalankan
instruksi pimpinan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga, masyarakat masa depan
merupakan masyarakat “meritokrasi”, yaitu masyarakat yang menghormati prestasi
daripada statusnya dalam organisasi. Keempat, lingkungan yang menghormati
seseorang yang dapat menuntaskan pekerjaannya dan bukan berdasarkan
kedudukannya di dalam organisasi. Inilah transformasi perusahaan yang
menggambarkan pula transformasi kebudayaan manusia.
Nilai-nilai positif
dari globalisasi (kesejagatan) mempunyai dimensi-dimensi baru yang tidak
dikenal sebelumnya seperti kriminalitas internasional, pembajakan dan terorisme
internasional, penyakit baru yang dengan cepat menyebar ke seantero dunia.
Transformasi ini berjalan dengan menghadapi tantangan sebagaimana dikatakan
oleh John Naisbitt, globalisasi mengandung berbagai paradoks.
Menurut Kartasasmita
(1996) transformasi global ditentukan oleh dua kekuatan besar yang saling
menunjang, yaitu perdagangan dan teknologi. Perdagangan akan berkembang begitu
cepat dan mengubah pola-pola kehidupan manusia. Pola-pola kehidupan itu
ditanggung oleh kemajuan teknologi yang telah mengubah bentuk-bentuk hubungan
antarmanusia dengan lebih cepat, lebih intensif, dan lebih beragam.
Transformasi bukan berjalan tanpa tantangan. John Naisbitt mengatakan globalisasi
mengandung berbagai paradoks, di antaranya berikut ini.
1. Budaya global vs
Budaya lokal
2. Universal vs
Individual
3. Tradisional vs
Modern
4. Jangka Panjang vs
Jangka Pendek
5. Kompetisi vs
Kesamaan kesempatan
6. Keterbatasan akal
manusia vs Ledakan IPTEK
7. Spiritual vs
Material
Akibat hubungan
bisnis (perdagangan) yang telah menyatukan kehidupan manusia maka timbul
kesadaran yang lebih intern terhadap hak-hak dan kewajiban asasi manusia.
Sejalan dengan itu, kehidupan demokrasi semakin marak dan manusia ingin
menjauhkan diri dari berbagai bentuk penindasan, kesengsaraan, diktator dan
perang. Oleh karena itu, liberalisasi dalam bidang ekonomi ini menuntut
liberalisasi dalam bidang politik, di mana keduanya harus berjalan seiring dan
saling menunjang. Buah pikiran Kenechi Ohmae dalam “Dunia tanpa batas”
dimaksudkan dalam bidang bisnis komunikasi dan informasi memang akan menebus
batas-batas nation, tetapi tidak dengan sendirinya menghilangkan identitas
suatu bangsa. Kontak budaya tidak terelakkan akibat komunikasi yang semakin
lancar. Terjadilah relativisasi nilai budaya dan memungkinkan munculnya
sinkretisme budaya yang sifatnya transnasional.
Sebagai bangsa
Indonesia, dengan berpijak pada budaya Pancasila, untuk menghadapi kekuatan
global tersebut, perlu mengetahui kekuatan dan kelemahan yang kita miliki dalam
segenap aspek kehidupan (Astagatra). Kekuatan yang kita miliki dalam Astagatra
(geografi, sumber kekayaan alam, demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, dan Hankam) yang harus dipertahankan, ditingkatkan dan dikembangkan,
sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada hendaknya dapat diatasi dan diubah
menjadi kekuatan untuk meningkatkan tannas di dalam menghadapi era globalisasi.
Kunci dalam meningkatkan tannas Indonesia adalah peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia yang menuju kepenguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) yang dilandasi oleh iman dan takwa (imtaq). Dalam pembangunan nasional
yang kita lakukan untuk meningkatkan tannas dilandasi oleh Wasantara. Penerapan
pendekatan tannas dalam pembangunan nasional, berarti kita melihat kekuatan dan
kelemahan bangsa Indonesia dalam seluruh aspek kehidupan (Astagatra) secara
komprehensif integral, membangun secara bersinergi aspek kehidupan bangsa
tersebut. Oleh karena itu, dalam pembangunan nasional untuk mencapai tingkat
tannas yang kita harapkan di dalam era globalisasi ini diperlukan
pengaturan-pengaturan dalam aspek Trigatra dan pancagatra.
Dalam aspek Trigatra
diperlukan pengaturan ruang wilayah nasional yang serasi antara kepentingan
kesejahteraan dan kepentingan keamanan, pembinaan kependudukan, pengelolaan
sumber kekayaan alam dengan memperhatikan asas manfaat, daya saing dan
kelestarian. Dalam aspek pancagatra diperlukan pemahaman penghayatan dan
pengamalan Pancasila di dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Penghayatan budaya politik Pancasila, mewujudkan perekonomian
yang efisien, pemerataan dan pertumbuhan yang tinggi untuk mencapai
kesejahteraan yang meningkat bagi seluruh rakyat, memantapkan identitas
nasional Bhinneka Tunggal Ika, dan memantapkan kesadaran bela negara bagi
seluruh rakyat Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar