MANUSIA
SEBAGAI INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL
Manusia
sebagai salah satu makhluk hidup dianggap paling sempurna, apabila dibandingkan
dengan makhluk hidup lainnya. Manusia memiliki akal yang kemudian mempengaruhi pola kelakukan dan pola
tindakannya. Keduanya merupakan bagian dari apa yang disebut dengan kepribadian
(personality). Kepribadian atau personality,
menurut Koentjaraningrat, adalah susunan akal dan jiwa yang menentukan
perbedaan tingkah laku atau tindakan
tiap-tiap individu manusia. Setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda satu
dengan yang lain. kepribadian
adalah keseluruhan perilaku dari seseorang individu dengan sistem kecenderungan
tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi.
Secara
umum, kepribadian memiliki beberapa unsur, yang mana unsur-unsur ini mengisi
akal dan alam jiwa manusia secara sadar dan nyata terkandung dalam otak
manusia. Unsur-unsur
tersebut antara lain: pengetahuan, perasaan, dan dorongan nalur. Terkait
dengan hal
tersebut, berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian manusia, yaitu warisan
biologis, lingkungan fisik, kebudayaan, pengalaman kelompok, dan pengalaman
unik.
Seorang bayi lahir ke dunia sebagai suatu organisme
kecil yang memiliki banyak kebutuhan fisik. Tetapi kemudian ia menjadi seorang
manusia yang memiliki seperangkat sikap dan nilai, kesukaan dan ketidak
kesukaan, dan banyak hal lainnya, melalui suatu proses yang kita sebut sebagai
proses sosialisasi. Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang pertama kali
berperan dalam penanaman nilai-nilai pada seorang anak, melalu proses belajar
sosial (sosialisasi). Keluarga, kemudian, memberikan penanaman nilai-nilai
sosial budaya yang lebih luas, yang menjadi dasar bagi perkembangan individu
menjadi makhluk sosial. Pada perkembangan inilah seorang individu tidak hanya
berpikir tentang dirinya (individu) tetap juga sudah mulai mempertimbangkan
orang-orang lain di sekelilingnya (keluarga).
Di
awal kehidupan seorang individu, keluarga merupakan kelompok referens yang pertama.
Kelompok referens adalah kelompok
tertentu di sekitar kehidupan seseorang yang cukup
penting bagi diri individu tersebut yang berperan
sebagai sebagai model untuk
gagasan atau norma-norma dalam bertingkah laku. Kelompok preferens berperan sebagai agen sosialisasi.
Sebagai suatu agen sosialisasi
awal, keluarga
mempersiapkan seorang anak untuk mampu berinteraksi dengan anggota masyarakat
yang lebih luas. Pada tahap ini, individu anak akan memiliki kelompok lain di luar kelompok keluarga, yaitu
kelompok sebaya atau peer group
(kelompok lain yang sama usia dan statusnya dengan si individu). Kelompok ini
pun menjadi kelompok referens bagi individu anak tersebut.
Sejalan
dengan waktu dan proses individu akan
mengalami pergantian kelompok referens dan banyak mengenal agen sosialisasi lainnya selain
keluarga,mulai dari teman di
sekitar rumah, di sekolah, di perguruan tinggi dan kemudian di lingkungan
tempat individu bekerja. Kelompok-kelompok tersebutlah yang secara terus menerus membentuk
kepribadian seseorang, yang kemudian akan mempengaruhi pola pikir, pola
perilaku dan kelakuannya di dalam masyarakat. Sehingga individu dapat menjadi
bagian dari masyarakat yang bersangkutan.
Manusia sebagai individu memerlukan individu lain
untuk dapat hidup sebagai manusia
sebab manusia
sebagai individu akan selalu membutuhkan individu lain untuk dapat hidup
sebagai manusia. Karena kebutuhannya itu maka manusia pada hakikatnya adalah
merupakan makhluk sosial. Kata
“sosial” menunjuk pada society (masyarakat) sebagai suatu sistem dari
kehidupan bersama. Sebagai suatu sistem dari kehidupan bersama, maka manusia
pada hakikatnya tidak bisa hidup sendiri. Manusia memiliki kebutuhan untuk
hidup secara berkelompok (bersama) dalam suatu ikatan nilai-nilai bersama.
Dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial, manusia
terus berusaha mengembangkan self-nya untuk tetap dapat diterima oleh
kelompoknya. Perkembangan diri (self) manusia, oleh Charles H. Cooley
dijelaskan dalam teorinya yang dinamakan looking-glass self, di mana Cooley melihat bahwa konsep
diri seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Ia
menganalogikan proses pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang
sedang bercermin. Pada seseorang yang sedang bercermin, cermin akan memantulkan
apa yang terdapat di depannya. Dengan demikian diri seseorang pun memantulkan
apa yang dirasakan sebagai tanggapan dari orang lain terhadapnya. Dengan kata
lain, proses perkembangan diri kita sebagai manusia sangat tergantung pada
orang lain di sekitar kita. Untuk itulah manusia pada hakikatnya memiliki
naluri untuk selalu hidup dengan orang lain (gregoriusness).
Berkaitan
dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial, manusia dihadapkan pada adanya
fakta-fakta sosial. Fakta sosial, menurut Emile Durkheim, adalah cara
bertindak, berpikir dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan
mempunyai kekuatan memaksa serta mengendalikannya. Apa yang dipikirkan, apa
yang rasakan dan apa yang dilakukan oleh individu sesungguhnya bukanlah karena
semata-mata keinginannya sebagai individu akan tetapi lebih dikarenakan adanya
paksaan dan pengaruh dari luar dirinya. Oleh karena itu, sebagai makhluk
sosial, manusia selalu dihadapkan pada keharusan (paksaan yang tadi
diistilahkan sebagai bagian dari fakta sosial) untuk melakukan tindakan sosial dan interaksi sosial.
Pada saat seseorang atau suatu kelompok
melakukan interaksi, maka sesungguhnya mereka melakukan apa yang disebut dengan
pertukaran simbol, baik simbol verbal (bahasa yang dituangkan dalam kata-kata)
maupun non-verbal (isyarat atau bahasa tubuh). Ahli sosiologi membahasnya dalam
teori interaksionisme simbolis.
Berdasarkan
bentuknya, interaksi sosial dapat berupa konflik dan kerja sama. Konflik sosial
yang terjadi dapat bersifat laten maupun manifes. Konflik sosial yang manifes adalah
konflik sosial yang nampak dan dapat kita lihat dengan jelas (misalnya tawuran
pelajar, perang antarsuku, baku hantam antarpemuda, dan lain-lain). Sedangkan
konflik sosial laten adalah konflik sosial yang tidak nampak di permukaan dan
tersembunyi dalam hubungan sosial yang dikemas dengan baik di luarnya. Banyak
pihak melihat bahwa konflik laten akan lebih berbahaya daripada konflik yang
manifes, karena benih-benih konflik yang terakumulasi dalam jangka waktu yang
lama dapat meledak menjadi konflik terbuka yang dasyat kapan pun. Bentuk-bentuk
konflik sosial antara lain persaingan, pertentangan, kecemburuan, dan
lain-lain.
Sementara,
interaksi sosial yang berupa hubungan kerja sama, dapat dilakukan dalam bentuk
pemberian dukungan dan bantuan baik fisik maupun non-fisik (psikologis), baik
materiil maupun non-materiil, baik
berupa verbal maupun non-verbal (tindakan).
Manusia
sebagai makhluk sosial selalu melakukan interaksi sosial untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Interaksi sosial merupakan syarat mutlak individu untuk
bertahan hidup. Kemampuan berinteraksi sosial individu berbeda-beda antara yang
satu dengan yang lain. Interaksi sosial melibatkan diri dan lingkungan
sekitarnya. Kemampuan berinteraksi sosial individu tergantung dari konsep diri
yang dimilikinya. Goerge Herbert Mead, dalam teorinya tentang tahap
perkembangan diri (self) manusia,
melihat bahwa diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksinya
dengan orang lain, yaitu 1) Tahap Play Stage, yaitu tahap di mana seorang anak mulai belajar
mengambil peran orang lain yang ada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran
orang lain yang ada di sekitarnya, terutama orang tua, 2) Tahap
Game Stage, yaitu tahap di mana
seorang anak tidak hanya mahir menirukan perilaku, kebiasaan dan tingkah laku
orang-orang lain di sekitarnya, akan tetapi ia sudah mulai memahami apa makna
dan arti dari peran orang yang ditirunya, dan 3) Tahap Generalized Other, yaitu tahap di mana seorang anak telah mampu memahami perannya dan
peran-peran orang lain di sekitarnya. Ia sudah mampu berinteraksi dengan orang
lain dengan baik, karena ia tahu bagaimana dan apa yang diharapkan orang lain
terhadapnya, dan apa peranan orang-orang tersebut untuk dirinya. Pada tahap ini
seorang anak juga telah dapat mengambil peran-peran yang dijalankan orang lain
dalam masyarakat (generalized other). Pihak-pihak atau
orang-orang yang berperan penting dalam tahap sosialisasi ini dinamakan significant
other.
Masyarakat adalah suatu sistem sosial, maka
anggota-anggota masyarakat juga disebut makhluk sosial. Dalam masyarakat terdapat banyak
kelompok-kelompok di mana antara satu dengan yang lain saling berhubungan atau
berinteraksi. Karena ada kebutuhan saling berinteraksi antara kelompok yang
satu dengan yang lain maka anggota dari satu kelompok tertentu akan dapat
saling berinteraksi dengan anggota dari kelompok yang lain, bahkan, ia dapat
juga masuk dan menjadi bagian dari kelompok yang lain tanpa harus terlepas dari
kelompok asalnya.
Hubungan antarindividu dan hubungan antarkelompok
dalam suatu masyarakat akan membentuk apa yang disebut sebagai pola
hubungan/pola interaksi. Di dalam pola interaksi sosial yang terbentuk
sesungguhnya berisikan pola-pola tindakan dari tiap-tiap individu yang ada.
Inilah yang selanjutnya oleh Kornblum disebut sebagai struktur sosial. Struktur
sosial dapat didefinisikan sebagai “the recurring patterns of behavior that
create relationships among individuals and groups within a society”-- pola
perilaku berulang-ulang yang menciptakan hubungan antarindividu dan antarkelompok
dalam masyaraka.
Dalam membahas tentang struktur sosial, kita
dihadapkan pada dua konsep utama dari struktur sosial itu sendiri, yaitu konsep
“status” (status) dan konsep “peran” (role). Ralp Linton
mendefinisikan status sebagai kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran
adalah aspek dinamis dari status. Sehingga dalam statusnya, seseorang akan
memiliki peran tertentu yang berhubungan dengan statusnya di dalam kelompok dan
masyarakatnya.
Status seseorang dapat mempengaruhi kemampuan orang
tersebut dalam upaya memperoleh sumber daya. Bila status seseorang dalam
hierarkinya tinggi maka ia akan memiliki banyak kesempatan untuk memperoleh
sumber daya yang juga lebih tinggi dari orang yang memiliki status di bawahnya.
Status berkaitan dengan perannya di
dalam masyarakat. Sehingga biasanya kita menyebutnya sebagai status sosial.
Sedangkan keberadaan hierarki status seseorang akan memiliki berpengaruh
terhadap kuantitas dan kualitas sumber daya yang akan dimilikinya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (ekonomi). Dengan demikian kita biasa menyebutnya
dengan konsep ”status sosial ekonomi” (SSE).
Konsep status sosial ekonomi inilah yang selanjutnya sering kali
dikaitkan dengan konsep kelas sosial.
0 komentar:
Posting Komentar